LIMA STRATEGI MENDIDIK ANAK
1. Mendidik anak
menggunakan ilmu.
Menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk
membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak
bisa dibeli dengan uang.
- Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
- Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
- Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
- Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang
dibutuhkan?
Jenis
ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah.
Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa
anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana
membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah.
Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi
dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu
tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan
wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk
shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur
sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana
mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak
mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai
sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya
ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa
adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar
mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal
ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara
lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil, “Nak, ucapkanlah
bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR.
Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah:
ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi
anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya
diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar.
Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai
konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.
Ayo belajar!
Semoga
pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam
mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus
mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim,
membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua
yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
2. Memberi
contoh kesalihan.
Tentu
Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam.
Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat
al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan
untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut,
mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir
memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung.
Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa
rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan
orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga
kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa
di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan
menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal
dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua!
Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya.
Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi
dampak positifnya.
Urgensi kesalihan
orangtua dalam mendidik anak
Kita
semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita
menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal
utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan
ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak
menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan
dosa!
Kesalihan
jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk
kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang
pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya
berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam
dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia
praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh
dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti
ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter
dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi
nyatanya
Manakala
kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah
tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak
memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda
berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan
ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan
radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi
lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau
Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil
apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak
untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru
pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan
mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya
dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan,
“Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”.
Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam
contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru
olehnya. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada
anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak
mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah
kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan
menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih
untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak
menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu
pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka
secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu
pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur?
Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan
penutup
Tidak ada
salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat
sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan
dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.
Dulu,
masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang
mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita
tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang
mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab
dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini
tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk
mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana
kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh
tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini?? Jika kita tidak ingin
menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak
sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita
sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa
meridhai setiap langkah baik kita, amien…
3. Mendidik anak
membutuhkan kerikhlasan
Ikhlas
merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan
jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan
adalah mendidik anak. Apa maksudnya? Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak
dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah
ta’ala.
Canangkan
niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa
perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata
yang kita ucapkan dengan keikhlasan.. Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita
lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari
nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya,
niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.
4. Mendidik anak
membutruhkan keasabaran
Sabar
merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi
kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan
bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan
kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara
episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa
mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku
yang tidak sesuai dengan harapan kita.
5. Mendidik anak disertai
dengan doa.
Sebuah
kisah di salah satu perumahan yang dicertakan seorang khatib dalam
khutbahnya, bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri.
Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara
anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak
bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya.
Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa
agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata
Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi
orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh
dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit
dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya
butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin
dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya,
berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan
untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa
yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa
dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb
kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan
mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar